Sejarah Gudeg, Kulineran Jogja dari Kota Aslinya
Menurut Murdijati Gardjito, seorang profesor sekalian periset di Pusat Pengkajian Makanan Tradisionil (PMKT), Pusat Study Pangan dan Nutrisi UGM dikutip dari KompasTravel, menjelaskan jika munculnya Gudeg diprediksi bebarengan dengan pembangunan Jogja tersebut. Bahkan juga pas saat sebelum Jogja ada. Riwayat gudeg diawali saat era ke-16 saat prajurit Kerajaan Mataram membedah rimba belantara untuk membuat peradaban. Lokasinya saat ini berada di teritori Kotagede. Rupanya rimba itu ada beberapa pohon nangka dan kelapa.
Saat sebelum memperoleh panggilan gudeg, dahulu mereka menyebutkan panganan ini dengan panggilan Hangudek yang maknanya Mengeduk. langkah mengolah gudeg ialah dengan mengeduk santan dan nangka muda dalam tungku besar. Tersebut Gudeg. Kuliner an ini dahulunya cuman terkenal di kelompok prajurit, tetapi makin lama dijumpai oleh warga umum karena bahan yang gampang dijumpai dan rasanya yang sedap. Dahulu, gudeg hanya berbentuk sayur nangka muda yang diberi bumbu bersama santan. Karena jadi kulineran fleksibel, warga juga terkadang menambah tempe dan tahu dalam sajian. Untuk beberapa darah biru, mereka menambah dengan telur dan daging ayam.
Awal tahun 1970 sampai 1980 an, baru Jogja mulai menggiatkan teritori gudeg di Jalan Wijilan. Disini kita dapat menjumpai gudeg legendaris Yu Djum dan penjual gudeg yang lain.Saat ini, di mana saja Anda ada dapat mendapati gudeg Jogja. Dimulai dari gudeg dengan cita-rasa asli manis, sampai yang rasanya pedas. Dimulai dari gudeg basah yang orisinal sampai gudeg kering. Kulineran ini tidak pernah mati semenjak diketemukan.
Gudeg Ciri khas Yogyakarta: Makanan Raja-Raja dan Rakyat Karyawan
Gudeg dikenali sebagai salah satunya tipe kulineran ciri khas dari Yogyakarta. Berdasarkan catatan riwayat, makanan tradisionil yang sampai sekarang masih lestari ini dicintai semua kelompok, dari beberapa raja dan kelompok bangsawan, atau prajurit, karyawan keraton, golongan karyawan, atau rakyat umumnya. Untuk wisatawan yang bertandang ke Yogyakarta, gudeg menjadi satu diantara arah kulineran yang jarang-jarang dilewati, sekalian dibawa pulang sebagai oleh-olehan.
Gudeg biasanya dibuat dari nangka muda atau gori yang diproses sebegitu rupa hingga hasilkan rasa legit, manis, sekalian renyah. Ada dua tipe gudeg yang dibuat dari gori, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg umumnya dihidangkan bersama tahu, tempe, ayam, atau telur, yang diolah dengan dibacem, dan tentu saja dikonsumsi dengan nasi putih. Selainnya dari gori, gudeg bisa juga dibikin dengan putik bunga kelapa atau manggar, kadang dipertambah rebung alias bambu muda dan potongan daging.
Gudeg manggar mempunyai cita-rasa yang unik, teksturnya simak, dan tidak begitu manis seperti gudeg nangka. Semakin langkanya bahan jadikan gudeg manggar sekarang sedikit susah dijumpai walau di sejumlah tempat di Yogyakarta masih tetap ada yang sediakan gudeg tipe ini. Gudeg manggar malah sering dihidangkan di resto-resto khusus atau di beberapa hotel berbintang dan kabarnya disukai oleh keluarga Keraton Yogyakarta.
Gudeg dan Riwayat Yogyakarta
Gudeg dan Riwayat Yogyakarta Gudeg punyai riwayat panjang. Tipe makanan ini telah ada saat sebelum Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta berdiri. Kabarnya, resep gudeg diketemukan pada periode Panembahan Senopati (1587-1601), pendiri Kesultanan Mataram Islam yang kakek Sultan Agung. Saat akan membangun Kesultanan Mataram Islam, Panembahan Senopati harus buka rimba belantara yang dikenali panggilan Alas Mentaok. Beberapa prajurit dan golongan karyawan bersama menghajar rimba yang nantinya namanya Yogyakarta ini.
Rupanya, di rimba ini lebih banyak ada pohon nangka dan pohon kelapa. Nangka muda dan kelapa itu selanjutnya diproses untuk makanan bersama. Nangka muda diolah dengan santan dari kelapa ditambahkan gula aren, beragam jenis bumbu, dan rempah-rempah, dalam kuali besar yang diaduk-aduk dengan memakai sendok besar serupa dayung. Karena itu, tercetuslah istilah hangudeg yang memiliki arti "diaduk-aduk" hingga makanan itu pada akhirannya dikenali dengan panggilan gudeg.
Makanan Semua Kelompok
Walau terlanjur rekat dengan Yogyakarta, tetapi gudeg cukup dekat di Surakarta. Sudah diketahui, Kesultanan Mataram Islam yang dibangun Panembahan Senopati nanti terbelah jadi dua kerajaan besar, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, ditambahkan dua daerah khusus yang lain, yakni Mangkunegaran dan Pakualaman. Disamping itu, lanjut Heri, dalam Serat Jatno Hisworo diriwayatkan, Raja Surakarta, Pakubuwana IX (1861-1893), pernah memboyong nasi gudeg dan nasi liwet untuk melayani kelompok kesenian yang hendak melipur keluarga istana dengan hidangan musik karawitan tadi malam jemu. Dari dahulu, gudeg dicintai semua kelompok, baik beberapa raja atau rakyat banyak. Sentral rumah makan yang menyuguhkan gudeg menyebar disekitaran Keraton Yogyakarta, seumpama di Wijilan, Gading, Ngasem, dan sebagainya. Di daerah DIY yang lain juga gudeg termasuk gampang untuk ditemui.